Jumat, 17 Maret 2017

tugas epdemiologi

NAMA : Mochamad Defri Hidayatullah
NIM : 201566078
SESI : 2 (DUA)
TUGAS : pola penyebaran penyakit di Indonesia

PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara.
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %). Dan sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia.
Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae. DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi virus Dengue. Virus Dengue penyebab Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS) termasuk dalam kelompok B Arthropod Virus (Arbovirosis) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4.

Persebaran Kasus
Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada tahun 2009. Provinsi Maluku, dari tahun 2002 sampai tahun 2009 tidak ada laporan kasus DBD. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009.



Peningkatan dan penyebaran kasus DBD tersebut kemungkinan disebabkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi, perkembangan wilayah perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan dan distribusi penduduk serta faktor epidemiologi lainnya yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut
Angka Insiden (AI) /Incidence Rate (IR)
Dari Gambar 1 tampak siklus epidemik terjadi setiap sembilan-sepuluh tahunan, hal ini terjadi kemungkinan karena adanya perubahan iklim yang berpengaruh terhadap kehidupan vektor, di luar faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Menurut Mc Michael (2006), perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan, suhu, kelembaban, arah udara sehingga berefek terhadap ekosistem daratan dan lautan serta berpengaruh terhadap kesehatan terutama terhadap perkembangbiakan vektor penyakit seperti nyamuk Aedes, malaria dan lainnya. Selain itu, faktor perilaku dan partisipasi masyarakat yang masih kurang dalam kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) serta faktor pertambahan jumlah penduduk dan faktor peningkatan mobilitas penduduk yang sejalan dengan semakin membaiknya sarana transportasi menyebabkan penyebaran virus DBD semakin mudah dan semakin luas.

Berdasarkan situasi di atas, terjadi tren yang terus meningkat dari tahun 1968 sampai tahun 2009. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan kasus termasuk lemahnya upaya program pengendalian DBD, sehingga upaya program pengendalian DBD perlu lebih mendapat perhatian terutama pada tingkat kabupaten/kota dan Puskesmas.

Pada tahun 2009 tampak provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan AI DBD tertinggi (313 kasus per 100.000 penduduk), sedangkan Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan AI DBD terendah (8 kasus per 100.000 penduduk). Terdapat 11 (33%) provinsi termasuk dalam daerah risiko tinggi (AI > 55 kasus per 100.000 penduduk), lihat Gambar 2.
 Dalam lima tahun terakhir (2005-2009) 5 provinsi dengan AI tertinggi dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4. Provinsi DKI dan Kalimantan Timur selalu berada dalam 5 provinsi AI tertinggi dengan DKI Jakarta selalu menduduki AI yang paling tinggi setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena pengaruh kepadatan penduduk, mobilitas penduduk yang tinggi dan sarana transportasi yang lebih baik dibanding daerah lain, sehingga penyebaran virus menjadi lebih mudah dan lebih luas. Berbeda dengan Kaltim yang penduduknya tidak terlalu padat, menurut SUPAS 2005 kepadatan penduduk Kalimantan Timur hanya 12 orang/km2 (DKI Jakarta 13.344 orang/km2). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian DBD di Kalimantan Timur, kemungkinan adalah karena curah hujan yang tinggi sepanjang tahun dan adanya lingkungan biologi yang menyebabkan nyamuk lebih mudah berkembang biak. 


 Berdasarkan AI suatu daerah dapat dikategorikan termasuk dalam risiko tinggi, sedang dan rendah yaitu risiko tinggi bila AI > 55 per 100.000 penduduk, risiko sedang bila AI 20-55 per 100.000 penduduk dan risiko rendah bila AI <20 per 100.000 penduduk. Dari Gambar 4 di atas terlihat dari tahun 2005 hingga 2009, jumlah provinsi yang berisiko tinggi (high risk) meningkat dan terjadi perubahan. Misalnya pada tahun 2007 seluruh provinsi di pulau Jawa dan Bali masuk sebagai daerah risiko tinggi dimana pada tahun ini terjadi epidemik (Gambar 1). Tetapi pada tahun 2009 terjadi perubahan dimana provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah masuk dalam resiko tinggi.
Kasus DBD perkelompok umur dari tahun 1993 - 2009 terjadi pergeseran. Dari tahun 1993 sampai tahun 1998 kelompok umur terbesar kasus DBD adalah kelompok umur <15 tahun, tahun 1999 - 2009 kelompok umur terbesar kasus DBD cenderung pada kelompok umur >=15 tahun.
Melihat data ini kemungkinan penularan tidak hanya di rumah tetapi di sekolah atau di tempat kerja. Sehingga gerakan PSN perlu juga digalakkan di sekolah dan di tempat kerja. Tampak telah terjadi perubahan pola penyakit DBD, dimana dahulu DBD adalah penyakit pada anak-anak dibawah 15 tahun, saat ini telah menyerang seluruh kelompok umur, bahkan lebih banyak pada usia produktif. Perlu diteliti lebih lanjut hal mempengaruhinya, apakah karena virus yang semakin virulen (ganas) atau karena pengaruh lain.
 Bila dilihat, distribusi kasus berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2008, persentase penderita laki-laki dan perempuan hamper sama. Jumlah penderita berjenis kelamin laki-laki adalah 10.463 orang (53,78%) dan perempuan berjumlah 8.991 orang (46,23%). Hal ini menggambarkan bahwa risiko terkena DBD untuk laki-laki dan perempuan hampir sama, tidak tergantung jenis kelamin. Persentase penderita DBD per jenis kelamin pada tahun 2008 dapat dilihat pada Gambar 6.

KESIMPULAN
1.      Sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, kasus telah menyebar dan meningkat jumlahnya, dari hanya
2.      provinsi dan 2 kota menjadi 32 (97%) provinsi dan di 382 (77%) kabupaten/kota, dari jumlah kasus hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus. AI 0,05 per 100.000 penduduk pada tahun 1968 meningkat menjadi 68,22 per 100.000 penduduk pada tahun 2009.
3.      Puncak epidemi DBD berulang setiap 9 - 10 tahun.
4.      Pada tahun 2009 provinsi dengan AI tertinggi adalah DKI Jakarta (313 kasus per 100.000 penduduk), dan Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan AI terendah (8 kasus per 100.000 penduduk). Terdapat 11 (33%) provinsi berisiko tinggi dengan AI > 55 kasus per 100.000 penduduk.
5.      Pada tahun 2007 seluruh provinsi di pulau Jawa dan Bali berisiko tinggi (AI > 55 per 100.000 penduduk). Pada tahun 2009 hampir seluruh provinsi di pulau Kalimantan beresiko tinggi (kecuali Kalimantan Selatan).
6.      Terjadi perubahan kelompok umur yang terserang penyakit DBD, menjadi seluruh kelompok umur, terutama pada usia produktif.
7.      Resiko terkena DBD pada laki-laki dan perempuan hampir sama, tidak tergantung jenis kelamin.

DAFTAR PUSTAKA
1.     Pusat Data dan Informasi (2001), Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2000, Jakarta Departemen Kesehatan
2.     Pusat Data dan Informasi (2002), Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2001, Jakarta Departemen Kesehatan
3.     Pusat Data dan Informasi (2003), Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2002, Jakarta Departemen Kesehatan
4.     Pusat Data dan Informasi (2004), Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2003, Jakarta Departemen Kesehatan
5.     Pusat Data dan Informasi (2005), Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2004, Jakarta Departemen Kesehatan
6.     Pusat Data dan Informasi (2006), Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2005, Jakarta Departemen Kesehatan
7.     Pusat Data dan Informasi (2007), Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2006, Jakarta Departemen Kesehatan
8.     Pusat Data dan Informasi (2008), Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2007, Jakarta Departemen Kesehatan
9.     Pusat Data dan Informasi (2009), Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008, Jakarta Departemen Kesehatan
10.  Subdirektorat Arbovirosis, Database kasus DBD di Indonersia Tahun 1968 – 2009, ’Ditjen PP&PL, Kementerian Kesehatan RI
11.   Subdirektorat KLB, Ditjen PP&PL, Kementerian Kesehatan RI, 2009 Change To The Vector Borne Diseases In Indonesia
12.   SUPAS 2005, Jakarta, Badan Pusat Statistik,
13.   Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara, Badan Meteorologi Klimatologi & Geofisika (BMKG), 2009


Tidak ada komentar:

Posting Komentar